• Home
  • About Us
  • CATEGORIES
    • WORK
    • TRAVEL
    • BEAUTY
    • ETC
  • Features
    • Books
    • Movies
    • Music
    • OUT AND ABOUT
      • Eat
      • Stay
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
  • By Author
    • Amanda
    • Dewanti
    • Christie
    • Mutiara
    • Noriko
    • The Working Girls
  • Social
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Contact Us

The Working Girls

for all the working girls trying to survive the world


'bosen banget kuliah pengen cepet-cepet kerja.'

'enak sih kalau udah kerja punya gaji sendiri bisa beli apa aja suka-suka gue.'

'kayaknya seru banget kerja di situ bisa jalan-jalan gratis dibayarin kantor.'

Masih banyak lagi kayaknya khayalan-khayalan tentang dunia kerja waktu masih kuliah dulu. Bosen dengan kegiatan belajar dan bikin tugas tiap hari bikin kita pengen cepat lulus dari dunia kampus dan mencicipi dunia kerja. Nyatanya................. khayalan ga selalu bisa jadi kenyataan! Dunia kerja bukan cuma tentang punya gaji sendiri, office attire yang bikin kita keliatan lebih classy, atau ga perlu pusing kalau sakit karena ada asuransi kesehatan yang ditanggung kantor. Dunia kerja lebih kompleks daripada itu, adik-adik!

Sebelum memutuskan kerja di mana setelah lulus kuliah, pasti akan banyak pertimbangan yang kita pikirin seperti soal kesesuaian pekerjaan yang kita mau dengan major kita pas kuliah, reputasi si perusahaan atau organisasi, gaji, bahkan letak kantor! Ditambah sekarang ini kerja sudah bukan melulu jadi PNS atau karyawan swasta, semakin banyaknya pilihan berkarir justru bikin kita makin ragu harus nyemplung ke mana.

Nah di post ini gue mau mencoba berbagi pengalaman ke kalian tentang dunia kerja yang kurang lebih sudah 3 tahun gue jalanin, both sebagai freelancer atau karyawan kantor.

(disclaimer : gue ga mendukung atau membela salah satu dari dua jenis pekerjaan tersebut. aku netral, guys.)

Terhitung setelah lulus kuliah bulan November 2013, gue langsung mulai bekerja di sebuah sekolah internasional di Jakarta sebagai freelance teacher. Beberapa bulan setelah itu gue berhasil diterima di sebuah NGO sebagai program officer, dimulai lah hari-hari bekerja dari jam 8 pagi sampai 5 sore tersebut! Lingkungan kerja di NGO ini beda jauh dengan saat gue bekerja di sekolah, dari jam kerjanya, outiftnya, dan lain-lainnya. Di NGO, gue harus beinteraksi dengan banyak orang setiap hari (bos, program manager, admin kantor, sampe office boy) sementara di sekolah gue lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak.

Singkat cerita, gue bekerja di NGO ini selama 1 tahun, karena satu dan lain hal (padahal cuma satu hal) gue akhirnya resign dan kembali menjadi freelance teacher. Dari pengalaman yang gue punya ini, gue akan mencoba menuliskan perbandingan antara menjadi freelancer atau full-time employee dilihat dari beberapa aspek.


1. Gaji

Saat jadi karyawan tetap, otomatis kita akan punya gaji yang tetap pula yang bakal kita terima setiap bulan. Ngga peduli dalam satu bulan kita ada izin sakit atau cuti, gaji yang kita terima ga akan berubah. Kita pun akan diuntungkan dengan adanya THR, kenaikan gaji berkala, dan bonus yang (kadang) diberikan oleh kantor. Di lain sisi, menjadi freelancer artinya kita menerima bayaran sesuai dengan pekerjaan yang kita lakukan. Contohnya gue, gaji yang gue terima adalah tergantung berapa kali gue bekerja setiap bulan, kalau gue berhalangan hadir ya gaji gue akan berkurang. Beberapa pekerjaan freelance lain juga kadang memberikan gaji kepada pekerjanya sesuai dengan besar-kecilnya proyek yang sedang dikerjakan. Intinya, gaji freelancer adalah fluktuatif, kadang bisa lebih kecil dari karyawan kantor, kadang berkali-kali lipat lebih besar!

2. Jam Kerja

Freelancer memiliki jam kerja yang fleksibel. Kadang kita harus datang ke tempat kerja, kadang kita cukup menyelesaikan pekerjaan dari rumah. Jam kerja gue dimulai dari jam 2 siang sampai jam 4 sore, cukup menyenangkan bukan? hehehe. Tapiiiii, kalau deadline proyek sudah mepet, kita bisa dipaksa melek berhari-hari atau pindah tempat ke sana-sini. Atau kalau saat belum ada proyek, atau sekolah lagi libur, ya siap-siap deh nganggur. Freelancer pun lebih mudah kalau mau menjadwalkan liburan. Karena tidak terlalu terikat ke aturan jam kerja, asal pekerjaan kita selesai dengan baik dan tepat waktu, kita bisa bebas mau liburan ke mana aja. dan kapan saja.

Sementara pegawai kantoran biasanya memiliki waktu kerja 9 sampai 10 jam perhari, dimulai dari jam 8/9 pagi sampai jam 5/6 sore. Setiap haripun kita harus absen tiap datang dan pulang supaya ga dianggep alfa. Karyawan kantor juga biasanya memiliki izin cuti hanya 12 hari dalam setahun, makanya kita harus pinter-pinter nyusun waktu kalau mau liburan karena cuti yang terbatas tersebut (ini kenapa tiap long weekend pasti dimanfaatin buat liburan).

3. Jenjang Karir

Bisa dibilang karyawan kantor memiliki jenjang karir yang lebih jelas. Kalau awal kerja kita masih jadi officer, dalam beberapa tahun kerja serta dibuktikan dengan performa kerja yang bagus, kita bisa naik jabatan yang akan diikuti dengan kenaikan gaji. Kesempatan untuk melanjutkan sekolah dengan dibiayai full oleh kantor juga dimiliki oleh pegawai kantoran. Nah melihat ini bukan berarti freelancer ngga punya jenjang karir, justru saat menjadi freelancer kita bisa lebih mengeksplor bakat dan passion kita dengan mengikuti workshop atau training. Dengan jam kerja yang fleksibel, disamping bekerja seorang freelancer juga bisa ikut berbagai kursus yang apalagi gunanya kecuali untuk menambah pengetahuan.




Beberapa contoh di atas merupakan gambaran kecil dari perbandingan antara menjadi seorang freelancer atau full-time employee. Bekerja sebagai apapun, pasti akan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tinggal kita yang harus menentukan, pekerjaan mana yang layak kita perjuangkan meskipun tidak selalu membawa kesenangan. Bekerja itu melelahkan. Ya. Berkutat dengan macetnya jalan raya setiap hari, berurusan dengan rekan kerja yang nyebelin, atasan yang galak, atau client yang demanding juga bisa bikin kita sakit kepala.Tanpa harus memilih mana yang lebih menguntungkan, gue percaya setiap pekerjaan pasti butuh perjuangan dan pasti memerlukan pengorbanan. Happy working, guys!

x,

C




Wrote by The Working Girls
"Women are not property!", written by a visitor during the 2015 One Billion Rising campaign in Taman Ismail Marzuki, Central Jakarta.


Indonesia's patriarchal society has hindered victims of sexual assaults in getting justice as members of the legal system often lack sensitivity, activists have claimed.

Founder of the rape-survivor support group Lentera Indonesia, Wulan Danoekoesoemo, said many rape victims chose not to report their cases to the police because the law itself did not side with the victim.

"Some victims feel hopeless because it is difficult to process a sexual-assault case. Even if the cases are processed, the sentences for the offenders are too short," she said.

Wulan cited the recent case of four Transjakarta employees who sexually assaulted an unconscious woman in a shelter in Harmoni, Central Jakarta.

"The men were sentenced to 18 months in prison. After that they will be free. On the other hand, [the victim] is traumatized. She is scarred for life and she will have a difficult time moving on," Wulan told The Jakarta Post recently.

In the Transjakarta case, not only were the four defendants sentenced to short terms in prison, the victim was also verbally harassed by the panel of judges during the trial.

According to activist Kartika Jahja, who supported the victim throughout the trial process, the judges and the defendants' lawyers went as far as to ask about her clothes and ethnicity.

"During the trial, the panel of judges and the defendants' lawyers asked [her] such shallow and dumb questions as 'what were the colors of your undergarments that day?' and 'you are from Aceh so you must be a Muslim. Why did you wear short pants?'" Kartika wrote on her Facebook page recently.

Kartika criticized the questioning the victim. "How are those questions relevant to the case? I was afraid that [she] would have a mental breakdown during the trial but she stayed strong," she said.

The questions posed by the panel of judges and the lawyers appear to demonstrate that the country has a tendency to blame the victim by questioning her choice of clothing.

Victim-blaming in sexual assault cases in Indonesia is not unheard of.

In 2011, then Jakarta governor Fauzi Bowo, in response to a case of a gang rape of a woman by four men in a minivan in South Jakarta, said that women should not wear miniskirts while on public transportation to avoid "any unwanted consequences".

Women's Legal Aid Foundation ( LBH APIK ) executive Uli Pangaribuan said that such stigmatizing was why many rape victims chose to keep quiet.

"The reason why many rape victims in this country choose not to report to the police is because they're ashamed and they're afraid that society will put the blame on them," Uli told the Post recently.

She said that many people tended to normalize rape if the victim was wearing a mini skirt or a tight blouse.

"It is very sad that people think women are 'asking for it' when they wear mini skirts or tight blouses. It does not justify rape," Uli said.

She said that many rape victims had to endure a second trauma during the trial process.

Not only was the Transjakarta victim verbally harassed, she said, but the court did not allow her lawyers and supporters to be present during the trial.

"I understand it was a closed trial, but [she] should at least have had some support in there. [She] was all alone and she had to answer questions like, 'why were you wearing short pants in public?' and 'how short were they?"


--

Disclaimer: This article was previously published in The Jakarta Post's August 8th 2014 print and online edition, written by the same writer. 
Wrote by The Working Girls
Newer Posts Older Posts Home

THE WORKING GIRLS

THE WORKING GIRLS
a lifestyle blog for working girls in Jakarta by us five working girls: Noriko, Mutiara, Christie, Dewanti, and Amanda

POPULAR POSTS

  • Pengalaman Seleksi Kementerian Luar Negeri (yang ternyata sudah) 3 Tahun yang Lalu
    “Tes masuk Kemlu susah ngga sih?”
  • Pengalaman BTS Wings Tour Live in Jakarta part 2 (Concert Time)
    “BTS are Dope”
  • Pengalaman BTS Wings Tour Live in Jakarta part 1 (Pre Concert)
    Akhirnya saya balik lagi nulis di blog ini, setelah kemaren – kemaren gak ada ide sama sekali. Kali ini saya mau bahas pengalaman saya nont...
  • My Top 5 Indonesian Drugstore Beauty Products
    Halo semuanya! Hari ini aku mau membahas sesuatu yang aku sukaaa sekali, yaitu tentang beauty products. Pasti banyak dari kalian yang ...
  • Review: Hostel di Korea Yang Cocok untuk Belanja Online - Seoul Grand Hostel Ewha Univ
    Akhirnya ngepost lagi sejak post terakhir tahun 2017, emang begini nasib blog nya kalo dipegang sama wanita - wanita wacana LOL. Sekar...
  • Why do Men Catcall? (Being Catcalled in Indonesia)
    Why do men catcall? Ini adalah salah satu pertanyaan yang selalu muncul di kepala gue dan sampai sekarang gue masih belum ...
  • Tips Beasiswa LPDP - Step 1: Persiapan
    Saya (di belakang banget) beserta penerima beasiswa LPDP PK-63 lainnya (Facebook PK-63 Satya Nagari) Halo! Kurang 2 minggu lagi s...
  • The Working Girls
    Thought we should start every blog with an introduction, shouldn't we? The Working Girls consists of five girls who met during our ...
  • In Sexual Harassment, Silence is Never Golden
      India and its vibrant colors. (Agra Fort, 2016) Kejadiannya sudah 6 bulan yang lalu saat pelecehan seksual itu saya alami, ...
  • Solo Trip to Chiang Mai
    Jadi trip nya ke Solo atau ke Chiang Mai? (Man, plz.)

CATEGORIES

  • By Amanda
  • By Christie
  • By Dewanti
  • By Mutiara
  • By Noriko
  • By TheWG
  • drugstore makeup
  • education
  • feminism
  • food
  • freelancer
  • India
  • indonesia
  • jakarta
  • Kemlu
  • law
  • LPDP
  • makeup
  • music
  • netherlands
  • other
  • pendidikan
  • rape
  • rape culture
  • recommendation
  • review: accommodation
  • review: beauty
  • review: concert
  • scholarship
  • studi magister
  • Thailand
  • travel
  • victim
  • woman
  • women
  • work
  • Yogyakarta

ARCHIVES

  • ►  2019 (1)
    • ►  December (1)
  • ►  2017 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  January (2)
  • ▼  2016 (13)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  June (2)
    • ▼  May (2)
      • on being a freelancer or full-time employee (which...
      • Rape victims blamed in Indonesian culture
    • ►  April (4)

CONTACT US

Name

Email *

Message *

#THEWORKINGGIRLSS

Copyright © 2015 The Working Girls. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates