• Home
  • About Us
  • CATEGORIES
    • WORK
    • TRAVEL
    • BEAUTY
    • ETC
  • Features
    • Books
    • Movies
    • Music
    • OUT AND ABOUT
      • Eat
      • Stay
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
  • By Author
    • Amanda
    • Dewanti
    • Christie
    • Mutiara
    • Noriko
    • The Working Girls
  • Social
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Contact Us

The Working Girls

for all the working girls trying to survive the world




Why do men catcall?


Ini adalah salah satu pertanyaan yang selalu muncul di kepala gue dan sampai sekarang gue masih belum tahu jawabannya. Bahkan gue ngga tahu apa Bahasa Indonesia dari 'catcalling' ternyata. I had to google it. And I still don't know the correct Indonesian word for it.

Menurut gue, catcalling adalah pelecehan seksual dalam bentuk verbal. Namun, tidak semua orang merasa kalau catcalling ini adalah pelecehan seksual, apalagi para pelakunya, biasanya mereka hanya beranggapan catcalling adalah iseng-iseng belaka.

Kenapa gue memutuskan untuk menulis tentang catcalling?

Karena gue udah muak being catcalled almost on daily basis. Karena sebagian besar perempuan pasti pernah mengalaminya tetapi hampir tidak pernah membicarakannya. So I figured, why not talk about this?

Buat kalian yang belum tahu apa itu catcalling, coba sekarang kalian ingat-ingat, apakah kalian pernah berjalan kaki melewati segerombolan laki-laki, lalu mereka bersiul atau memanggil-manggil kalian:
"Hai cewek.."
"Hai cantik.."
"Cewek, sendirian aja? Mau ditemenin ngga?"
"Mau kemana cantik?"
"Senyum dikit dong, neng.. Kok cemberut aja?"
Dan lain sebagainya. Ya, itulah catcalling. Sebenarnya banyak contoh yang lebih ekstrim dan lebih obvious pelecehan seksualnya, sih, tapi semoga kalian sudah menangkap maksud gue.

Gue rasa sebagian besar wanita pernah mengalami hal tersebut, termasuk gue. Dulu waktu kuliah, kalau gue jalan kaki melewati segerombolan mas-mas, lalu gue digodain kayak gitu, gue mikirnya, "wah, gue segitu cantiknya apa, sampai mas-mas pinggir jalan aja godain gue." But that was the old stupid me who thought catcalling was a compliment. It actually wasn't. It never is.

Memasuki dunia kerja, gue semakin sering getting catcalled. Setiap hari, gue harus berjalan kaki dari rumah menuju stasiun dan melewati pangkalan ojek. Setiap gue lewat pangkalan ojek, pasti tukang ojek di sana manggil-manggil. Awalnya ya mereka memang menawarkan jasa ojeknya, "Ojek, neng?" Lama-lama, mereka tidak menawarkan jasa ojek, mungkin karena mereka tahu gue mau naik kereta. Yang ada, mereka manggil-manggil gue dengan, "Hai, cantik" atau "Berangkat sendirian aja nih si Mba" dan lain sebagainya. Gue merasa sangat risih dipanggil begitu. Panggilan-panggilan seperti itu udah ngga terasa sebagai pujian. Gue malah merasa attacked, takut, dan marah. Masuk stasiun, gue harus melewati lagi rombongan bapak-bapak yang sedang duduk. One of them actually had the nerve to say hi and whistled at me. Kemudian, teman-temannya yang lain ikut tertawa dan heboh. Gue ngga tahu harus bereaksi apa selain pasang muka jutek, giving them a major side eye, dan jalan saja terus. Saat pulang kantor dan sampai stasiun lagi, para tukang ojek itu biasanya sudah ngga ada. Jangan salah, gue tetap tidak bisa berjalan kaki dengan tenang. Justru suasana sepi seperti itu yang membuat semakin menyeramkan. Ketika harus berjalan kaki di gang yang sepi dan gelap, I was being catcalled again by a random asshole riding motorcycle. Dia cuma melewati gue tetapi sambil bilang "Ssst.. Ssst.. Cewe.. Sendirian aja nih?"

I was so angry I couldn't help myself. I raised my middle finger as he passed me by. I didn't know if he saw me doing that but it gave me a little relief. But then again, I felt scared because what if he saw me and followed me home? That was scary as fuck. And I still have to deal with that same old shit almost whenever I walk alone.

Pasti kalian langsung mikir dan menyalahkan pakaian gue. Perhaps some of you would think that I was dressing provocatively. Well, surprise! Gue pakai celana panjang, blouse, dan blazer atau jaket. Awalnya gue merasa, apa ini karena rok gue terlalu pendek? Atau karena blouse gue menerawang? Ternyata, saat gue pakai celana panjang dan jaket pun gue masih aja getting catcalled. Dan setiap gue jalan kaki pun, gue selalu pakai masker yang menutupi sebagian wajah gue, dari dagu sampai hidung, jadi sebenernya para pelaku catcall itu juga ngga lihat wajah gue seperti apa. Tetap saja gue dipanggil-panggil, digodain, disiulin. Dan gue pernah lihat dengan mata kepala gue sendiri, wanita berjilbab yang juga diperlakukan seperti itu. Berarti, it doesn't matter how you dress, whether you are pretty or ugly, fat or skinny, those men will catcall you anyway. Jangan victim-blaming, jangan salahkan gue yang tidak berjilbab, jangan salahkan pakaian gue. Para lelaki pelaku catcalling juga sering manggil-manggil hijabers dengan "assalamualaikum cantik" tanpa maksud yang jelas. Assalamualaikum yang arti sebenarnya mendoakan keselamatan pun malah dijadikan bahan candaan untuk mendegradasi perempuan.

Mungkin ada di antara kalian yang menganggap gue lebay karena semarah ini sama para pelaku catcalling. Mungkin ada yang berpikir, "they were just being friendly" or "they didn't mean to harass you, just chill out!"

No, I won't chill out.

Gue ngga suka diperlakukan seperti itu karena gue bukan objek. Gue bukan barang. Gue bukan objek yang tidak bernilai, yang bisa dipanggil-panggil dan diteriaki seenaknya seakan gue ngga ada artinya. Gue bukan objek yang bisa mereka lihat secara seksual. Gue manusia. Gue berhak marah ketika diperlakukan dengan tidak manusiawi. If they didn't mean to harass me, they would just shut up and leave me be. Let us women have our safe, peaceful walk, for God's sake!

Gue belum menemukan jawaban dari "why do men catcall" tadi. Apa karena mereka merasa superior sehingga bisa seenaknya terhadap perempuan? Apa karena mereka tidak pernah diajarkan menghargai perempuan? Apa karena rape culture yang sudah begitu mendalam di Indonesia? Gue belum tahu, apa yang ada di benak mereka saat mereka memutuskan untuk catcalling. Apakah tiba-tiba mereka punya ide, "Wah ada cewe lewat, panggil ah!" Dan setelah mereka catcalling, lalu apa? Mereka merasa puas? Mereka merasa lebih macho? Mereka merasa lebih maskulin? Mereka merasa lebih jantan? Apa mereka pernah berpikir bagaimana rasanya jadi perempuan yang harus berjalan kaki sendirian? Tell you what, walking alone as a woman is a difficult thing. Berjalan kaki sendirian di tengah keramaian mungkin masih tidak apa-apa, tetapi ketika harus berjalan sendirian di tempat yang sepi dan melewati segerombolan lelaki... Pasti setiap perempuan ada rasa takut.

Yang jelas, catcalling is never okay. Catcalling is not a friendly behavior. Gue tahu pembaca blog ini adalah orang-orang berpendidikan dan open minded (hopefully). Gue harap kalian tidak pernah catcalling dan jangan sampai melakukan itu, even just for fun, because it's never fun being catcalled. Sebelum kalian randomly nyiulin mba-mba cantik yang lewat, ask yourself, is it worth it? Do you really have to do it? What is your outcome? Will you feel better after doing that to a stranger? Will it make that woman feel embarrassed and scared? Kalau perlu bikin analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats)-nya dulu supaya kalian sadar, nothing good ever comes from catcalling.

-N

Wrote by The Working Girls


Halo semuanya!

Hari ini aku mau membahas sesuatu yang aku sukaaa sekali, yaitu tentang beauty products. Pasti banyak dari kalian yang sama-sama antusias seperti aku ketika membahas dunia kecantikan. Mungkin banyak juga yang belum begitu tertarik tetapi ingin mencoba satu atau dua produk kecantikan yang murah dan mudah didapat. Well, aku harap melalui post ini aku bisa berbagi informasi yang bermanfaat dengan kalian mengenai My Top 5 Indonesian Drugstore Beauty Products. Yang aku maksud dengan drugstore di sini adalah toko obat / apotek seperti Guardian, Century, dan Watsons, yang ada di mana-mana. Okay, let's get started!

1. Marcks Beauty Powder (Loose Powder) in Invisible



Bedak tabur merk Marcks pasti sudah familiar sekali di Indonesia dari zaman nenek-nenek kita. Bahkan nenekku masih menggunakan bedak Marcks sampai sekarang. Aku juga sempat pakai bedak Marcks beberapa tahun lalu sebagai setting powder, tetapi aku berhenti karena kemasannya yang super rempong. Tahu kan, bedak Marcks ini kemasannya besar dan suka tumpah-tumpah? Belum lagi aku suka bersin-bersin kalau butiran bedaknya ngga sengaja terhirup.

Nah beberapa waktu lalu, temanku yang namanya Dewanti (she's one of the Working Girls, too) membawa bedak Marcks berukuran kecil. Ternyata sekarang ada bedak Marcks yang lebih travel-friendly dan less-rempong! Aku jadi tertarik untuk mencoba dan so far, aku puas banget. Aku pakai bedak ini sebagai setting powder setelah pakai makeup terutama untuk area bawah mata setelah pakai concealer supaya tidak 'geser' dan staying power-nya lumayan kok, sekitar 6 jam. Jenis kulitku juga tergolong berminyak  Tapi bedak Marcks ini tidak memberi coverage apapun, just think of it as a translucent setting powder. Jadi memang harus pakai foundation atau BB cream sebelum pakai bedak ini kalau kamu memang butuh coverage.



Kekurangan lain dari bedak Marcks adalah baunya yang memang 'klasik' banget, kinda reminds me of my grandma, hahaha! Sebenarnya wanginya cukup soft dan ngga gengges kok, tapi mungkin ngga semua orang suka dan tahan dengan wanginya ini (tapi aku sih tahan-tahan aja hehe..)

2. Maybelline Clear Smooth Shine Free Pressed Powder in Natural




Oke, jangan bingung yaa kenapa aku memasukkan bedak Maybelline Clear Smooth ini sebagai salah satu dari My Top 5 Indonesian Drugstore Beauty Products padahal sebelumnya aku sudah bahas tentang bedak Marcks. Kalau bedak Maybelline yang warna hijau ini adalah andalanku dari zaman SMA hingga sekarang, terutama untuk touch up saat pergi-pergi. Bahkan teman-teman lamaku sampai kaget kok bedakku ngga ganti-ganti merknya, dari dulu selalu ini. Yeah well, this one is by far the only powder that works perfectly for me. Aku cocok dengan teksturnya yang sangat ringan karena basically, ini adalah bedak tabur yang di-press (hence the name, "Pressed Powder"), jadi aku ngga terlihat terlalu "dempul" kalau pakai bedak ini, pas banget untuk dipakai sehari-hari. Minyak di wajahku juga terkontrol dengan baik karena aku tidak perlu sering-sering touch up, ya kecuali kalau memang sedang berada di luar ruangan dan cuaca lagi panas banget ya.. Aku juga cocok dengan shade "Natural" karena memang it matches my yellow skintone pefectly. Kalau kulit wajahku lagi menggelap biasanya aku switch ke shade "Honey".


Satu kekurangan dari bedak ini adalah spons nya yang tipis dan kurang enak dipakai. Tapi bedaknya memang berukuran compact sih, kalau pakai spons yang lebih tebal nanti susah ditutupnya.

3. Maybelline Magnum Volum Express Mascara Waterproof



Maskara warna kuning ini sudah menjadi favoritku sejak kuliah, so I really swear by this product. Bahkan aku lebih suka maskara ini daripada maskara dari merk high-end seperti Benefit Roller Lash yang gampang luntur. Maybelline Magnum Volum Express Mascara ini waterproof jadi ngga luntur kalau kamu cuci muka atau wudhu. Staying power-nya juga oke banget, sampai seharian bulu mataku masih 'berdiri' dengan sempurna, hahaha.. Sebenarnya maskara ini memang pas untuk kamu yang mau bulu matanya terlihat lebih bervolume atau lebih 'penuh', but at the same time menurutku maskara ini juga membuat bulu mata terlihat lebih panjang dan lentik kok. Tips dari aku sih selalu pakai penjepit bulu mata atau eyelash curler sebelum pakai maskara ini untuk hasil yang maksimal.


Oya, mataku juga termasuk sensitif. Aku pernah coba maskara merk Kiss Me Heroine dan ternyata ngga cocok, mataku malah iritasi sampai beberapa bulan, merah-merah jadi ngga bisa pake contact lens. Akhirnya aku balik lagi ke maskara ini, Selama aku pakai contact lens juga tidak ada masalah dengan maskara ini (thank God!). Kekurangan dari produk ini adalah cepat kering setelah 3 bulanan, but it's okay, just toss it out and buy a new one karena maskara sendiri memang umurnya tidak boleh lama-lama.

4. Wardah Long Lasting Lipstick in Raspberry Rip (No. 7) & Stylish Mocca (No. 10)



Ini adalah drugstore lipstick yang paling aku suka! Wardah Long Lasting Lipstick really proves its name karena memang tahan lama kalau dipakai, lalu hasilnya matte pula. Walaupun matte, lipstick ini cukup moisturizing dan tidak membuat bibir kering sampai pecah-pecah. Teksturnya creamy dan gampang diaplikasikan, ngga seret gitulah, terutama untuk shade Raspberry Rip (No. 7) dan Stylish Mocca (No. 10). Sebenarnya aku juga suka yg shade Fabulous Peach (No. 1) tetapiii punyaku sudah hilang entah kemana, dan somehow menurutku shade yang itu susah diaplikasikan di bibir.


Anyway, lipstick ini tidak transfer-proof seperti matte liquid lipstick karena memang teksturnya creamy. Jadi, kalau kamu minum pasti akan meninggalkan bekas lipstick di gelas. Tapi menurutku staying powernya oke jadi it's really worth to try, Kekurangan lipstick ini adalah gampang banget putus atau keluar-keluar gitu dari tempatnya. Agak ganggu sih kadang, jadi harus hati-hati pakainya dan nyimpennya.

5. Wardah Luminous Liquid Foundation in Light Beige



Pada awalnya aku memang ngga sengaja beli foundation ini di salah satu drugstore. Waktu itu BB cream-ku, Missha M Perfect Cover, sudah habis dan aku bingung mau nitip beli ke siapa yang di Korea (rempong banget I know, jaman dulu belum freak online shop kayak sekarang), lalu temanku merekomndasikan Wardah Luminous Liquid Foundation in Light Beige ini. Dia bilang, "Nih lo liat aja muka gue, ngga medok kan? Natural kan?" dan aku pikir, "Hmm iya juga sih." akhirnya aku beli deh hahaha just like that! Ternyata pas untuk wajahku, malahan terlihat menyatu banget sama kulit. Walaupun namanya Luminous tapi hasilnya matte, ngga dewy. Teksturnya agak kental tetapi ringan ketika diaplikasikan.


Kekurangan dari foundation ini adalah, saking ringannya, coverage nya sangat sheer. Kadang aku pakai 2x supaya dapat coverage yang lebih, untungnya ngga cakey sih..

Okay, itu dulu deh My Top 5 Indonesian Drugstore Beauty Products dari aku. Semoga bermanfaat untuk kalian ya! Kalau ada yang mau share tentang Indonesian Drugstore Beauty Products kesukaan kalian, please leave us a comment down below! Thank you xoxo

Love,

-N



Wrote by The Working Girls

Jadi trip nya ke Solo atau ke Chiang Mai? (Man, plz.)

Wrote by The Working Girls

'bosen banget kuliah pengen cepet-cepet kerja.'

'enak sih kalau udah kerja punya gaji sendiri bisa beli apa aja suka-suka gue.'

'kayaknya seru banget kerja di situ bisa jalan-jalan gratis dibayarin kantor.'

Masih banyak lagi kayaknya khayalan-khayalan tentang dunia kerja waktu masih kuliah dulu. Bosen dengan kegiatan belajar dan bikin tugas tiap hari bikin kita pengen cepat lulus dari dunia kampus dan mencicipi dunia kerja. Nyatanya................. khayalan ga selalu bisa jadi kenyataan! Dunia kerja bukan cuma tentang punya gaji sendiri, office attire yang bikin kita keliatan lebih classy, atau ga perlu pusing kalau sakit karena ada asuransi kesehatan yang ditanggung kantor. Dunia kerja lebih kompleks daripada itu, adik-adik!

Sebelum memutuskan kerja di mana setelah lulus kuliah, pasti akan banyak pertimbangan yang kita pikirin seperti soal kesesuaian pekerjaan yang kita mau dengan major kita pas kuliah, reputasi si perusahaan atau organisasi, gaji, bahkan letak kantor! Ditambah sekarang ini kerja sudah bukan melulu jadi PNS atau karyawan swasta, semakin banyaknya pilihan berkarir justru bikin kita makin ragu harus nyemplung ke mana.

Nah di post ini gue mau mencoba berbagi pengalaman ke kalian tentang dunia kerja yang kurang lebih sudah 3 tahun gue jalanin, both sebagai freelancer atau karyawan kantor.

(disclaimer : gue ga mendukung atau membela salah satu dari dua jenis pekerjaan tersebut. aku netral, guys.)

Terhitung setelah lulus kuliah bulan November 2013, gue langsung mulai bekerja di sebuah sekolah internasional di Jakarta sebagai freelance teacher. Beberapa bulan setelah itu gue berhasil diterima di sebuah NGO sebagai program officer, dimulai lah hari-hari bekerja dari jam 8 pagi sampai 5 sore tersebut! Lingkungan kerja di NGO ini beda jauh dengan saat gue bekerja di sekolah, dari jam kerjanya, outiftnya, dan lain-lainnya. Di NGO, gue harus beinteraksi dengan banyak orang setiap hari (bos, program manager, admin kantor, sampe office boy) sementara di sekolah gue lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak.

Singkat cerita, gue bekerja di NGO ini selama 1 tahun, karena satu dan lain hal (padahal cuma satu hal) gue akhirnya resign dan kembali menjadi freelance teacher. Dari pengalaman yang gue punya ini, gue akan mencoba menuliskan perbandingan antara menjadi freelancer atau full-time employee dilihat dari beberapa aspek.


1. Gaji

Saat jadi karyawan tetap, otomatis kita akan punya gaji yang tetap pula yang bakal kita terima setiap bulan. Ngga peduli dalam satu bulan kita ada izin sakit atau cuti, gaji yang kita terima ga akan berubah. Kita pun akan diuntungkan dengan adanya THR, kenaikan gaji berkala, dan bonus yang (kadang) diberikan oleh kantor. Di lain sisi, menjadi freelancer artinya kita menerima bayaran sesuai dengan pekerjaan yang kita lakukan. Contohnya gue, gaji yang gue terima adalah tergantung berapa kali gue bekerja setiap bulan, kalau gue berhalangan hadir ya gaji gue akan berkurang. Beberapa pekerjaan freelance lain juga kadang memberikan gaji kepada pekerjanya sesuai dengan besar-kecilnya proyek yang sedang dikerjakan. Intinya, gaji freelancer adalah fluktuatif, kadang bisa lebih kecil dari karyawan kantor, kadang berkali-kali lipat lebih besar!

2. Jam Kerja

Freelancer memiliki jam kerja yang fleksibel. Kadang kita harus datang ke tempat kerja, kadang kita cukup menyelesaikan pekerjaan dari rumah. Jam kerja gue dimulai dari jam 2 siang sampai jam 4 sore, cukup menyenangkan bukan? hehehe. Tapiiiii, kalau deadline proyek sudah mepet, kita bisa dipaksa melek berhari-hari atau pindah tempat ke sana-sini. Atau kalau saat belum ada proyek, atau sekolah lagi libur, ya siap-siap deh nganggur. Freelancer pun lebih mudah kalau mau menjadwalkan liburan. Karena tidak terlalu terikat ke aturan jam kerja, asal pekerjaan kita selesai dengan baik dan tepat waktu, kita bisa bebas mau liburan ke mana aja. dan kapan saja.

Sementara pegawai kantoran biasanya memiliki waktu kerja 9 sampai 10 jam perhari, dimulai dari jam 8/9 pagi sampai jam 5/6 sore. Setiap haripun kita harus absen tiap datang dan pulang supaya ga dianggep alfa. Karyawan kantor juga biasanya memiliki izin cuti hanya 12 hari dalam setahun, makanya kita harus pinter-pinter nyusun waktu kalau mau liburan karena cuti yang terbatas tersebut (ini kenapa tiap long weekend pasti dimanfaatin buat liburan).

3. Jenjang Karir

Bisa dibilang karyawan kantor memiliki jenjang karir yang lebih jelas. Kalau awal kerja kita masih jadi officer, dalam beberapa tahun kerja serta dibuktikan dengan performa kerja yang bagus, kita bisa naik jabatan yang akan diikuti dengan kenaikan gaji. Kesempatan untuk melanjutkan sekolah dengan dibiayai full oleh kantor juga dimiliki oleh pegawai kantoran. Nah melihat ini bukan berarti freelancer ngga punya jenjang karir, justru saat menjadi freelancer kita bisa lebih mengeksplor bakat dan passion kita dengan mengikuti workshop atau training. Dengan jam kerja yang fleksibel, disamping bekerja seorang freelancer juga bisa ikut berbagai kursus yang apalagi gunanya kecuali untuk menambah pengetahuan.




Beberapa contoh di atas merupakan gambaran kecil dari perbandingan antara menjadi seorang freelancer atau full-time employee. Bekerja sebagai apapun, pasti akan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tinggal kita yang harus menentukan, pekerjaan mana yang layak kita perjuangkan meskipun tidak selalu membawa kesenangan. Bekerja itu melelahkan. Ya. Berkutat dengan macetnya jalan raya setiap hari, berurusan dengan rekan kerja yang nyebelin, atasan yang galak, atau client yang demanding juga bisa bikin kita sakit kepala.Tanpa harus memilih mana yang lebih menguntungkan, gue percaya setiap pekerjaan pasti butuh perjuangan dan pasti memerlukan pengorbanan. Happy working, guys!

x,

C




Wrote by The Working Girls
"Women are not property!", written by a visitor during the 2015 One Billion Rising campaign in Taman Ismail Marzuki, Central Jakarta.


Indonesia's patriarchal society has hindered victims of sexual assaults in getting justice as members of the legal system often lack sensitivity, activists have claimed.

Founder of the rape-survivor support group Lentera Indonesia, Wulan Danoekoesoemo, said many rape victims chose not to report their cases to the police because the law itself did not side with the victim.

"Some victims feel hopeless because it is difficult to process a sexual-assault case. Even if the cases are processed, the sentences for the offenders are too short," she said.

Wulan cited the recent case of four Transjakarta employees who sexually assaulted an unconscious woman in a shelter in Harmoni, Central Jakarta.

"The men were sentenced to 18 months in prison. After that they will be free. On the other hand, [the victim] is traumatized. She is scarred for life and she will have a difficult time moving on," Wulan told The Jakarta Post recently.

In the Transjakarta case, not only were the four defendants sentenced to short terms in prison, the victim was also verbally harassed by the panel of judges during the trial.

According to activist Kartika Jahja, who supported the victim throughout the trial process, the judges and the defendants' lawyers went as far as to ask about her clothes and ethnicity.

"During the trial, the panel of judges and the defendants' lawyers asked [her] such shallow and dumb questions as 'what were the colors of your undergarments that day?' and 'you are from Aceh so you must be a Muslim. Why did you wear short pants?'" Kartika wrote on her Facebook page recently.

Kartika criticized the questioning the victim. "How are those questions relevant to the case? I was afraid that [she] would have a mental breakdown during the trial but she stayed strong," she said.

The questions posed by the panel of judges and the lawyers appear to demonstrate that the country has a tendency to blame the victim by questioning her choice of clothing.

Victim-blaming in sexual assault cases in Indonesia is not unheard of.

In 2011, then Jakarta governor Fauzi Bowo, in response to a case of a gang rape of a woman by four men in a minivan in South Jakarta, said that women should not wear miniskirts while on public transportation to avoid "any unwanted consequences".

Women's Legal Aid Foundation ( LBH APIK ) executive Uli Pangaribuan said that such stigmatizing was why many rape victims chose to keep quiet.

"The reason why many rape victims in this country choose not to report to the police is because they're ashamed and they're afraid that society will put the blame on them," Uli told the Post recently.

She said that many people tended to normalize rape if the victim was wearing a mini skirt or a tight blouse.

"It is very sad that people think women are 'asking for it' when they wear mini skirts or tight blouses. It does not justify rape," Uli said.

She said that many rape victims had to endure a second trauma during the trial process.

Not only was the Transjakarta victim verbally harassed, she said, but the court did not allow her lawyers and supporters to be present during the trial.

"I understand it was a closed trial, but [she] should at least have had some support in there. [She] was all alone and she had to answer questions like, 'why were you wearing short pants in public?' and 'how short were they?"


--

Disclaimer: This article was previously published in The Jakarta Post's August 8th 2014 print and online edition, written by the same writer. 
Wrote by The Working Girls

Hi semuanya!

Ini post pertama gue di blog ini. Terinspirasi dari post nya Muti tentang review Retras Hostel di Jogja dan my recent trip with the Working Girls, gue mau coba nulis tentang wisata kuliner di Jogja.

FYI, gue (and the rest of the Working Girls) pernah menghabiskan 4 tahun di Jogja karena kita sama-sama kuliah di UGM. So, think of this blog post as a list of food recommendation from the locals (or former locals, lol) karena ada beberapa tempat kuliner di bawah ini yang masih belum diketahui turis atau penduduk luar Jogja.

1. Sate Klathak Pak Pong



Top of mind gue ketika ada orang bilang "Gue mau ke Jogja nih, ada rekomendasi tempat makan enak gak di Jogja?" Gue selalu jawab, "Lo harus coba Sate Klathak Pak Pong!"


Sate Klathak (kiri belakang), Gulai Otak, dan Sate Sandung Lamur (kanan depan)




Apa itu Sate Klathak? Daging kambing muda, ditusuk pakai jeruji besi (seperti yang dipakai di roda sepeda), hanya pakai garam, lalu dipanggang. I swear, the first time I ate sate klathak it felt like...a dream? Karena gue ga pernah makan daging seempuk itu sebelumnya! Satu porsi sate klathak isinya dua tusuk tapi tenang, potongan dagingnya besar kok. Sate klathak disajikan pakai kuah juga supaya ga seret.

Other recommended menus, di sini wajib coba juga yang namanya sandung lamur. Sebenernya gue masih ga yakin itu apa, kalau ga salah sih itu adalah otot. Teksturnya kenyal dan berlemak gitu, mirip gajih. Bisa dijadikan sate atau tongseng. Wajib juga coba gulai otaknya karena rasanya beneran lumer di mulut. Untuk minuman, teh poci di sini memang juara. Disajikan pakai gula batu, rasa tehnya beda sama yang lain. Pantaslah kalau restoran ini jadi rekomendasi wisata kuliner Jogja.

Harga: 5 out of 5
1 porsi sate klathak: sekitar Rp 19.000. Murah banget pokoknya!

Service: 2.5 out of 5
Kemarin kita nungguin pesanan dateng selama satu jam :( dan semua waiters terlihat sibuk jadi bingung juga harus nanya ke siapa. 

Cleanliness: 3 out of 5
Yaaa not bad sebenarnya, walaupun masih bisa lebih bersih lagi.

Alamat: Jalan Imogiri Timur KM. 7, Jajaran Wonokromo, Pleret, Bantul, DI Yogyakarta

Tips:
- Sebaiknya datang saat weekdays. Siap-siap menunggu lama kalau datang saat weekend, bisa sampai sejam.


2. Ayam Geprek Bu Rum

Kalau yang ini kesukaan mahasiswa dari berbagai kampus di Jogja. Ayam Geprek Bu Rum memang tergolong unik walaupun menunya simpel, yaitu ayam goreng tepung. Namun, ini salah satu rekomendasi gue untuk wisata kuliner Jogja dan salah satu makanan favorit yang bisa gue makan seminggu sekali.


Ayam Geprek Cabe 4!


Lalu apa istimewanya? Di sini ayamnya bisa digeprek, atau diulek, sampai benar-benar hancur, bersamaan dengan cabe. Cabenya juga bisa milih mau berapa banyak. Untuk yang kurang suka pedas,  bisa mulai dengan satu cabe and see if you like it. Untuk pecinta makanan pedas, bisa pesan dengan lima cabe atau lebih. Kalau gue pribadi biasanya 'hanya' empat cabe, ya level medium lah. Ayam Geprek Bu Rum sangat recommended untuk yang suka makanan pedas. 

Ayam Geprek Bu Rum sekarang sudah banyak cabangnya di Jogja. Dulu jaman gue kuliah, tempatnya cuma warung tenda yang sempit dan kalau siang panasnya bukan main. Belum lagi ngantrinya bisa panjang banget. Memasuki tahun ketiga gue kuliah baru deh ada cabangnya. Ada yang lokasinya di semacam food court (Bu Rum 2), ada juga yang tempatnya seperti warteg kalau di Jakarta (Bu Rum 3). 

Harga: 5 out of 5
Super duper murah sekali! Satu porsi nasi, ayam geprek, dan teh manis hanya 12.000!

Service: 3.5 out of 5
Biasa aja dan nothing special. 

Cleanliness: 2.5 out of 5
Di seluruh outlet Bu Rum, gue belum nemu yang bersih sih. Untuk yang ga bisa makan di tempat kurang bersih, sepertinya ga recommended. 

Alamat:
Bu Rum 1: Jalan Wulung Lor, Desa Papringan (Masuk dari Jalan Gejayan, karena ini daerah perumaha jadi parkir mobil sedikit, recommended naik motor)

Bu Rum 2: Resto PKL Mrican, Jl. Pringgodani, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (karena ini semacam food court jadi parkir luas)


Bu Rum 3: Kios Mrican Baru, Jl. Mrican Baru Blok C No.11, Catur Tunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (tempatnya lebih sempit tapi memang cenderung lebih sepi)


Tips:
Saat sampai ke Bu Rum, selalu ambil dua piring; satu untuk nasi putih + sayur dan satu lagi untuk ayam gepreknya.

3. Koki Joni


Okay, last but definitely not least, Koki Joni. Ini juga salah satu rekomendasi wisata kuliner Jogja kalau kalian lagi liburan ke sana. Yang jadi andalan di sini adalah turkey nya, hampir semua menu menggunakan turkey. Tentu saja ini yang bikin istimewa karena jarang-jarang kan restoran yang jual turkey?



Roast Turkey Briano


My favorite menu is Roast Turkey Briano. Menu ini isinya turkey yang dipanggang, disajikan dengan mashed potato / french fries, dan sayuran. Lalu tidak lupa disiram pakai mushroom gravy yang rasanya creamy. Wajib dicoba! Selain Roast Turkey, di sini juga banyak menu pasta. Another recommended menu is Creamy Turkey Pasta. Pastanya bisa pilih antara spaghetti, fettuccine, atau penne.


Sebenarnya di Jogja ada banyak restoran yang menunya mirip-mirip sama si Koki Joni ini, tapi menunya adalah roast chicken, bukan turkey. Kalau pioneer nya sih Pastagio. Atau bisa juga coba Pasta Banget.


Harga: 5 out of 5

Di Jogja ga ada yang ga murah! Seporsi Roast Turkey Briano sekitar Rp 46.000 saja.

Service: 4 out of 5
Pelayanan di sini ramah dan waiters cepat tanggap.

Cleanliness: 4 out of 5

Tempatnya bersih dan nyaman. Ruangan tidak ada AC dan semi terbuka jadi kadang sedikit gerah.

Alamat:
Jl. C. Simanjuntak Gk. V, Terban, DI Yogyakarta (parkir mobil cukup luas)

Tips:
Pesan sayuran yang creamy spinach karena rasanya enak banget, kalau kurang bisa pesan extra side dish creamy spinach dengan harga yang murah kok, kalau ga salah sekitar Rp 10.000


Okay guys, I guess that's all for this post. Sebenarnya masih banyak rekomendasi wisata kuliner Jogja yang belum gue bahas, nanti untuk post-post berikutnya aja ya :)

See ya!

-N

Wrote by The Working Girls
Hai semuanya ! 

Gw akan membahas tentang review hostel tempat gw nginep pas liburan ke Yogya bulan Maret lalu. Gimana sih namanya working girls kok malah ngepost tentang liburan ? Ya karena ketika kita udah kerja, liburan itu sesuatu yang sangat ditunggu - tunggu.

Okay, let's get straight to the topic. Gw pergi ke Yogya tanggal 23 - 27 Maret 2016 lalu dan nginep di Retra's Hostel, di Jalan Kaliurang Km 5,5; Jalan Pandega Mandala No.25c, Yogyakarta. 




Wrote by The Working Girls
Newer Posts Older Posts Home

THE WORKING GIRLS

THE WORKING GIRLS
a lifestyle blog for working girls in Jakarta by us five working girls: Noriko, Mutiara, Christie, Dewanti, and Amanda

POPULAR POSTS

  • Pengalaman Seleksi Kementerian Luar Negeri (yang ternyata sudah) 3 Tahun yang Lalu
    “Tes masuk Kemlu susah ngga sih?”
  • Pengalaman BTS Wings Tour Live in Jakarta part 2 (Concert Time)
    “BTS are Dope”
  • Pengalaman BTS Wings Tour Live in Jakarta part 1 (Pre Concert)
    Akhirnya saya balik lagi nulis di blog ini, setelah kemaren – kemaren gak ada ide sama sekali. Kali ini saya mau bahas pengalaman saya nont...
  • My Top 5 Indonesian Drugstore Beauty Products
    Halo semuanya! Hari ini aku mau membahas sesuatu yang aku sukaaa sekali, yaitu tentang beauty products. Pasti banyak dari kalian yang ...
  • Review: Hostel di Korea Yang Cocok untuk Belanja Online - Seoul Grand Hostel Ewha Univ
    Akhirnya ngepost lagi sejak post terakhir tahun 2017, emang begini nasib blog nya kalo dipegang sama wanita - wanita wacana LOL. Sekar...
  • Why do Men Catcall? (Being Catcalled in Indonesia)
    Why do men catcall? Ini adalah salah satu pertanyaan yang selalu muncul di kepala gue dan sampai sekarang gue masih belum ...
  • Tips Beasiswa LPDP - Step 1: Persiapan
    Saya (di belakang banget) beserta penerima beasiswa LPDP PK-63 lainnya (Facebook PK-63 Satya Nagari) Halo! Kurang 2 minggu lagi s...
  • The Working Girls
    Thought we should start every blog with an introduction, shouldn't we? The Working Girls consists of five girls who met during our ...
  • In Sexual Harassment, Silence is Never Golden
      India and its vibrant colors. (Agra Fort, 2016) Kejadiannya sudah 6 bulan yang lalu saat pelecehan seksual itu saya alami, ...
  • Solo Trip to Chiang Mai
    Jadi trip nya ke Solo atau ke Chiang Mai? (Man, plz.)

CATEGORIES

  • By Amanda
  • By Christie
  • By Dewanti
  • By Mutiara
  • By Noriko
  • By TheWG
  • drugstore makeup
  • education
  • feminism
  • food
  • freelancer
  • India
  • indonesia
  • jakarta
  • Kemlu
  • law
  • LPDP
  • makeup
  • music
  • netherlands
  • other
  • pendidikan
  • rape
  • rape culture
  • recommendation
  • review: accommodation
  • review: beauty
  • review: concert
  • scholarship
  • studi magister
  • Thailand
  • travel
  • victim
  • woman
  • women
  • work
  • Yogyakarta

ARCHIVES

  • ▼  2019 (1)
    • ▼  December (1)
      • Review: Hostel di Korea Yang Cocok untuk Belanja O...
  • ►  2017 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (13)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (4)

CONTACT US

Name

Email *

Message *

#THEWORKINGGIRLSS

Copyright © 2015 The Working Girls. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates